Bantul (NewsFlash-RI), Yogyakarta sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia, menjadi salah satu wilayah pendidikan di negeri ini. Sri Sultan Hamengkubuwono IX mempersilakan anak-anak Indonesia datang ke Jogja untuk bersekolah. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh warga Jogja dan sebagian besar telah dianggap anak sendiri oleh warga khususnya pemilik kos.
Sejarah kota pendidikan tak lepas dari peran Jogja sebagai salah satu pusat perjuangan kemerdekaan. Disaat Jakarta diserang Belanda usai Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia, Presiden Sukarno memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta. Selama tiga tahun, Januari 1946-Desember 1949, Jogja menjadi pusat pemerintahan Indonesia. Saat itu Pemerintah membangun Universitas Gadjah Mada di Jogja sebagai penghormatan. Para pejuang Republik yang pelajar putus sekolah lalu berkuliah di sana bahkan masa itu ke kampus dengan menenteng senjata adalah hal biasa.
Mahasiswa Papua, menurut seorang peneliti, baru masuk ke Yogyakarta sekitar tahun 1970-an, berbeda dengan sebagian pelajar daerah lain yang sudah lebih dulu menjejak Yogya pada 1940 atau 1950-an. Puncak gelombang mahasiswa Papua menuju Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi tahun 1990-an sebagai bagian dari komitmen pemerintah Indonesia memajukan provinsi Irian Jaya pada saat itu.
Yogyakarta yang memiliki motif ekonomi dengan membangun fasilitas pendidikan dan mendatangkan pelajar dari seluruh Indonesia. Mahasiswa dari berbagai daerah berdatangan, asrama-asrama dibangun, Papua sendiri memiliki tujuh asrama di Jogja.
Awalnya, sistem indekos tidak seperti sekarang. Misalnya seseorang kos maka orang itu jadi bagian dari orang rumah itu, keluarga itu. Sekian tahun pemilik rumah dan anak kos di Jogja menyatu namun sekarang cara berpikir pemilik kos sudah berubah. Banyak kos yang dibangun terpisah dari pemiliknya sebagai investasi. Anak kos tidak lagi seatap dengan induk semang karena komersialisasi tersebut. Jadi jika ada yang mengatakan mahasiswa Papua tidak berbaur, nyatanya nyaris semua mahasiswa di Jogja sekarang tidak berbaur.
Karena beda generasi yang dulu para penghuni kos diajak gotong royong dengan warga, Sekarang tidak begitu lagi. Sama saja dengan mahasiswa Papua dan dari daerah lain.
Lunturnya nilai simbiosis mutualisme antara mahasiswa dan warga setempat, serta realitas heterogen di sekitar, penting bagi Yogya yang menyandang titel sebagai kota pendidikan, untuk kembali menyemarakkan iklim pluralisme.
Keberadaan mahasiswa Papua di wilayah Kab. Bantul tentunya tidak terlepas dengan interaksi dengan masyarakat. Kerjadian dugaan rasisme yang terjadi di Malang dan Surabaya telah menciptakan jarak antara warga dengan pelajar dan mahasiswa Papua yang terlebih berhubungan dengan semangat kebangsaan NKRI.
Adanya tekanan bagi pelajar maupun mahasiswa yang murni berniat belajar di Jogja terkait kejadian di Jawatimur tersebut menciptakan peluang bagi kelompok pro kemerdekaan untuk mempengaruhi mereka. Pandangan sebagian masyarakat yang kurang mendalami permasalahan mereka dapat menciptakan potensi kerawanan dalam berbangsa dan bernegara.
Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian pelajar dan para mahasiswa asal Papua di wilayah Bantul tersebut menciptakan dilema. Dimana sebagian besar yang berniat belajar terseret kedalam konflik perpecahan dalam berbangsa. Adanya situasi permasalahan yang rawan dimanfaatkan oleh pihak – pihak tertentu untuk memperkeruh situasi perlu dilakukan tindakan nyata dari para pemangku kepentingan pemerintahan yang bijak dalam menangani mencari jalan tengah guna merangkul kembali mereka kedalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Acy)
0 Comments